“Hah?? Dihapus?? Iihh.. kasihaannn”
Begitulah reaksi saya dan salah seorang sahabat saya ketika sahabat saya yang lain (yang kebetulan menjadi dosen di jurusan tempat kami kuliah dulu) mengabarkan, bahwa mulai tahun ini tidak ada yang namanya mabim (masa bimbingan) alias ospek (orientasi pengenalan kampus) untuk mahasiswa baru. Bahkan kegiatan di hari Sabtu pun diharamkan.
Sebagai gantinya diadakan learning skill, di mana mahasiswa baru belajar mengenai cara belajar yang efektif, etika belajar, penulisan, dan lain sebagainya. Ya, miriplah dengan di luar negeri (ini kata sahabat saya dan juga sahabat saya yang dosen itu, kebetulan dua-duanya melanjutkan kuliah di luar negeri)
Ibu dosen kemudian menjadi penasaran, bagaimanakah produk mahasiswa yang akan datang?
“Sepertinya sih bakal teu payaan”
Begitu perkiraan ibu dosen. Saya dan sahabat saya yang lain sangat sepakat dengan perkiraan ibu dosen. Mahasiswa tanpa mabim sepertinya akan menjadi mahasiwa yang “manja”. Kenapa bisa begitu?
Begini, kami memang produk mahasiswa hasil mabim/ospek sekitar 15 tahun yang lalu. Yang menjalani mabim/ospek selama berbulan-bulan.
Lalu apakah kami menjadi mahasiswa yang “tahan banting”? Entahlah. Tapi boleh dikatakan hampir semua teman-teman seangkatan memang jadi orang sukses. Meski saya sendiri tidak memiliki karir gemilang bahkan cenderung suram, saya merasa bahwa setelah mengikuti mabim saya menjadi tahan menjalani berbagai ujian hidup yang saya hadapi (tsaahhh… :D)
Yang paling penting, dari mabim/ospek yang berbulan-bulan itu, saya juga merasa bahwa semua anggota angkatan 98 benar-benar merupakan satu keluarga.
Kenangan bahwa kami pernah sama-sama “disiksa” senior saat harus membawa roti Luxor plus teh manis di botol bekas air mineral yang warnanya harus seragam (90 botol harus seragam warnanya!!!), lari keliling Lapang Gasibu 20 putaran, membawa permadani terbang, menyaksikan teman kami menyanyikan “kurupuk baruleud”, guling-guling di tanah merah, jalan jongkok di tanjakan cinta Jatinangor, dan gosok gigi teman pakai jari saat pelantikan di Pangalengan (errr… ok, ini jangan dibayangkan…. jijik!). Semuanya benar-benar menempel di ingatan kami selama ini.
Dan ketika belasan tahun kemudian kami berkumpul kembali di grup whatsapp, buat kami yang mengalami sendiri, sepertinya soal mabim ini tidak pernah bosan untuk diceritakan.
Hanya grup whatsapp ’98 yang mampu membuat saya cengar cengir setiap hari. Grup yang tidak pernah sepi. Sehari bisa sampai ratusan messages, malah sampai ada yang gadgetnya harus opname berkali-kali dan ganti baterai double power. Ada saja yang dibahas, mulai dari domba, konsultasi investasi, tips mengatasi anak agar rutin bab tiap pagi, berbagi resep, kuis berhadiah, “perang” opini ketika pilpres kemarin (beruntung tidak ada yang sampai musuhan haha), sampai wacana halal bihalal pasca Ramadhan kemarin yang sampai saat ini belum terwujud.
Yang paling fenomenal, grup ’98 ini berhasil melahirkan produk kuliner yang mendunia. Apalagi kalau bukan #RendangNendang (yang mau order, coba cek fanspagenya di sini atau twitternya di sini).
Lalu apakah kami dendam terhadap senior yang melakukan beragam “siksaan” itu? Tidak. Yang kami kenang adalah kebersamaan kami saat menjalani “penyiksaan” itu.
Lagipula, buat saya pribadi apa yang saya alami saat mabim dulu masih dalam batas wajar. Tidak ada yang berlebihan.
Sayangnya, makin ke sini sepertinya makin banyak yang menyalahgunakan mabim/ospek untuk sarana balas dendam. “Siksaan” yang diberikan senior untuk mahasiswa baru seringkali melewati batas kewajaran. Bukan hanya mental, tapi juga fisik.
Bukan satu dua kali kita mendengar berita korban meninggal dunia saat kegiatan mabim. Akhirnya kegiatan mabim yang over itu memang menjadi tidak ada manfaatnya selain unjuk kekuatan senior.
Terus kenapa saya bilang kasihan saat mendengar kabar bahwa mabim ini dihapus? Apakah saya suka kekerasan? Ah, tidak juga. Saya kan tidak mengalami kekerasan saat menjalani mabim dulu hehe
Yang saya dan sahabat saya sesalkan sih itu saja… mahasiswa baru menjadi kehilangan momen untuk dikenang sepanjang masa…
Ya… Momen mabim… yang indah untuk dikenang, tapi haram untuk diulang, apalagi gosok gigi teman… 😀
Kalo udah berlalu emang mengesankan ya mak. Tapi yang serem itu kalo udah ada yang di luar batas kiemanusiaan bahkan cenderung melecehkan.
hehe.. iya, mak. Alhamdulillah dulu tidak mengalami hal-hal yang berlebihan, jadi masih cukup indah buat dikenang 🙂
rin, saya masih inget lawan main saya saat gosok gigi teman pake jari saya. mau tau? 🙂
wah? maenya? saya lupa di depan saya siapa… soalnya nyawanya belum ngumpul, lagi enak2 tidur dibangunin senior :v