Malam itu seperti biasa saya menemani anak-anak belajar di kamar sambil menunggu adzan Isya. Sementara suami baru saja pulang dari kantor. Segelas teh manis hangat sudah saya siapkan di meja. Begitu pun dengan piring dan lauk pauk untuk makan malam. Nasinya tinggal ambil sendiri di alat penanak nasi otomatis.
“Mah, mah… sini cepet!”, setengah berteriak suami yang sedang mengambil nasi memanggil saya.
“Apaan?”, tergopoh-gopoh saya segera menghampiri suami.
“Kata Mamah, ini bau gak?”, tanya suami sambil menyodorkan nasi di piring untuk saya cium baunya.
Segera saya cium nasi itu, dan ternyata memang benar tercium bau tidak enak. Teksturnya juga sudah berubah, sedikit berlendir. Jelas kalau nasi sudah basi.
“Ih… iya. Kenapa ya? Padahal ini nasi baru dimasak tadi pagi. Tadi siang anak-anak makan masih bagus. Terus gimana donk? Sekarang masak nasi lagi ya? Tapi nunggu lama”.
“Gak usah, ini saja. Belum terlalu basi koq”, suami kemudian menambahkan lauk pauk ke atas nasi yang sudah diambilnya tadi.
Tapi saya tetap mencuci beras untuk dimasak, anak-anak memang belum akan makan malam segera, PRnya belum selesai.
Suami menyarankan saya memeriksa alat penanak nasi yang sudah cukup lama kami miliki ini. Meski sedikit mengalami kerusakan di bagian engsel penutupnya, sebetulnya alat penanak nasi ini masih berfungsi cukup baik.
“Coba lihat, siapa tahu ada uap yang terperangkap dan kembali lagi ke bawah. Atau barangkali harus kembali masak nasi manual, pake langseng… bisa gitu pakenya???”, tanya suami dengan tatapan penuh keraguan.
Waduh… pakai langseng? Belum apa-apa sudah terbayang kerepotan yang akan saya hadapi kalau harus menanak nasi dengan langseng. Bukankah teknologi dicpitakan untuk mempermudah kerja manusia, termasuk urusan menanak nasi.
Sementara suami terpaksa makan malam dengan nasi yang bau dan basi. more