Ini kali keempat saya ditolak donor darah. Padahal bukan sekali dua kali saya menjadi pendonor. Saya mulai (memberanikan diri) jadi pendonor tepat di usia saya yang ke 17 tahun.
Peristiwa ditolak donor pertama kali karena umur yang belum mencukupi. Saat itu saya memang belum tahu syarat-syarat menjadi pendonor (Lihat syarat donor darah di sini).
Saya masih ingat momennya, yaitu ketika paman meminta kami yang bergolongan darah AB jadi donor untuk anaknya yang membutuhkan darah untuk transfusi (adik sepupu, Jabbar, seorang penderita leukimia). Di keluarga Abah, ada 3 orang yang bergolongan darah AB: Abah, kakak ketiga, dan saya sendiri,
Karena ketidaktahuan kami soal syarat-syarat jadi pendonor, jadilah saat itu kami semua berangkat ke UTD PMI. Sesampainya di UTD PMI, hanya saya yang ditolak. Saat itu umur saya masih 14 tahun. Abah dan kakak ketiga sukses mendonorkan darahnya.
Jabbar sendiri hanya sanggup bertahan beberapa bulan setelah transfusi darah pertama. Sayang, saya tidak sempat ikut mendonorkan darah untuk Jabbar.
Penolakan yang pertama kali ini jadi motivasi buat saya. Jadilah saat itu saya berjanji, tepat di usia 17 tahun saya harus jadi pendonor.
Pengalaman Donor Pertama…
Dengan perasaan tidak menentu dan masih berseragam sekolah (seragam SMA, bukan SMP apalagi SD), janji itu saya tepati. Rasa takut dan deg-degan selama proses donor darah berlangsung, seketika hilang begitu saya masuk ke ruang istirahat. Apalagi penyebabnya kalau bukan kartu donor berwarna kuning yang disimpan di atas setumpuk makanan yang tertata rapi di piring hahaha
Selanjutnya bisa dipastikan kalau motivasi saya bertambah. Siapa yang tidak tergiur dengan godaan telur, susu, pop m*e, biskuit, dan sejumlah kue mar*e yang tersedia di dalam toples besar dan bebas diambil semaunya (kalau tidak malu).
Pernah saat saya baru saja menerima piagam penghargaan karena telah mendonorkan darah sebanyak 10x, dengan bangganya saya mengibas-ngibas piagam itu di ruang istirahat. Bolak balik (pura-pura) saya baca isi piagamnya sambil mengupas telur rebus. Pin PMI yang langsung saya pasang di kerudung juga tak henti-henti saya pandangi. Tentunya dengan maksud agar orang lain yang ada di ruangan itu berdecak kagum dengan piagam yang saya dapatkan (saat itu belum musim hp berkamera dan facebook, jadi saya gak bisa pamer piagam hihihi)
Di kursi depan, duduk seorang bapak berusia 50-60 tahunan yang juga sedang menikmati telur rebus, mulai membuka percakapan…
“Wah, dapet piagam, dek?”
“Hehehe… iya pak”
“Ke berapa?”
“Ah, baru sepuluh pak. Soalnya saya juga baru mulai donor sekitar 3 tahun ini”
Sengaja saya merendah demi mengharapkan pujian… hihihihi #gubrak
“Bapak sendiri, udah lama ngedonor?”
“Alhamdulillah, dek”
“Udah berapa, pak?”
Sejujurnya saya berharap catatan donor si Bapak tidak terlalu jauh dengan saya… tapi ternyata…
“Ini sedang mengurus piagam ke 100”
Alamaaaakk… saya gak jadi sombong deh kalau begitu #nyungsepdigelaspopm*e
Saya perkirakan si Bapak juga memulai donor di usia muda, dan rutin. Kalau saja saya rutin seperti si Bapak, seharusnya catatan donor saya juga udah banyak, dan saya bisa sukses menyombongkan piagam saya yang lain (Piagam diberikan untuk donor ke 10, 25, 50, 75 dan 100) Tapi rupanya saya memang gak boleh sombong.
Karena harus tinggal di Timor Timur selama beberapa bulan, saya pun akhirnya cuti dari kegiatan donor. Belum lagi mengandung & menyusui (ASI Ekslusif masing-masing 2 tahun) sebanyak 3 kali. Kalau ditotal saya cuti donor sekitar 8 tahun (32x donor).
Nah, urusan menyusui ini yang jadi penolakan donor berikutnya.
Ditolak lagi, lagi, dan lagi…
Sewaktu saya masih menyusui si Bungsu yang saat itu berusia 1 tahun, saya nekat datang ke UTD bareng suami. Lho? Kan udah tau kalau ibu menyusui gak boleh mendonorkan darahnya?
Iya, tau sih. Cuma saya pikir si Bungsu ini kan udah 1 tahun, menyusui juga gak terlalu sering, karena sudah ada makanan pengganti, makannya juga banyak. Boleh dibilang kalau ASI ini hanya sebagai pengantar tidur. Mudah-mudahan aturan khusus ibu menyusui ini bisa dinego.
Tapi, dokter yang jaga waktu itu “galak”. Setelah ditanyai ini itu, karena saya jujur banget, ya saya bilang kalau saya masih menyusui dengan beberapa catatan. Hasilnya? Saya ditolak donor yang kedua kali.
Baiklah, saya tunggu sampai si Bungsu tepat berusia 2 tahun.
Beberapa hari sebelum si Bungsu merayakan ultahnya yang ke-2, saya wanti-wanti ke suami, kalau pas jadwalnya suami donor nanti saya mau ikut. Kebetulan hanya berselang beberapa hari dari ultahnya si Bungsu.
Perasaan terlalu senang karena menganggap tidak akan ada kendala apapun, membayangkan bahwa besok catatan donor saya akan bertambah, membuat saya gak bisa tidur. Ditambah lagi saat itu saya juga masih senang minum kopi bergelas-gelas. Jadilah malam sebelum donor kembali setelah cuti panjang ini saya gak bisa tidur sama sekali. Menjelang pagi barulah saya tertidur sebentar, paling hanya 2 jam.
Setelah mengisi formulir dan ditimbang, selanjutnya saya kebagian diperiksa dokter.
Seperti biasa, dokter menanyakan, tidur cukup? Berapa jam? Sudah sarapan? Pusing? Diare? Selama 3 hari ini minum obat-obatan?
Karena sangat ingin donor, saya berbohong sedikit, jadi saya jawab: Tidur cukup, sekitar 7-8 jam! Gak sarapan, tapi sudah makan siang barusan. Gak pusing, gak diare, gak ada minum obat.
Sambil mendengarkan jawaban saya, dokter itu mengukur tekanan darah saya. Dan… tettoootttt!!! Dosis kopi yang terlalu banyak kemarin malam dan juga jarak yang cukup jauh antara rumah dengan UTD PMI rupanya membuat saya kelelahan dan tekanan darah mendekati batas, 150/100 (batas sistole = 110 – 160 mmHg, diastole = 70 – 100 mmHg). Cukup tinggi untuk perempuan seumuran saya yang tidak menggunakan KB hormonal, begitu dokter bilang. Belum lagi denyut nadi yang di atas 100. Waduuhh… darah tinggi maaakkk!!!
Selama ini tekanan darah ini memang gak terlalu diperhatikan. Hobi minum kopi sampai 7-9 gelas per hari memperburuk kondisi tekanan darah saya.
Tapi penolakan ketiga karena tekanan darah yang tinggi ini gak membuat saya kapok minum kopi. Saya masih melanjutkan hobi minum kopi bergelas-gelas sampai suatu hari saya tumbang terkena serangan maag akut.
Sejak itu saya mulai mengurangi minum kopi, mudah-mudahan sih berhenti… (errr… gak janji tapinya hahaha)
Setelah berminggu-minggu mengurangi dosis kopi, saya pun berniat donor lagi. Jadilah beberapa hari yang lalu, saya kembali nebeng suami.
Karena tidur cukup, minum kopi juga dikurangi, pagi sarapan dulu, beberapa hari terakhir rajin makan sayuran dan beberapa syarat lain yang saya patuhi membuat saya pede kalau kali ini saya pasti berhasil mendonorkan darah.
Seperti biasa, setelah sampai di UTD PMI, rutinitas dimulai dengan mengisi formulir, ditimbang, dan pemeriksaan dokter.
Hore! Saya berhasil melewati pemeriksaan dokter ini dengan hasil baik! Tekanan darah saya 120/70!
Saya pun keluar dari ruang pemeriksaan dengan membawa formulir & kartu donor. Selanjutnya saya ke meja pemeriksaan Hb.
Dulu, sebelum cuti panjang, pemeriksaan Hb dilakukan dengan mengambil sedikit darah dari ujung jari, kemudian darah itu diteteskan ke dalam gelas berisi cairan.
Karena PMI sudah semakin maju, pemeriksaan Hb dilakukan secara digital. Darah dari ujung jari diambil sedikit, kemudian diteteskan ke atas kertas indikator yang ditempelkan ke sebuah alat pengukur kadar Hb.
Hasilnya? Tetoootttt… Hb saya hanya 12,1! Sementara syarat untuk donor itu minimal Hb 12,5.
Waduh… kenapa lagi ya?
Petugas PMI bilang, kalau saya kecapekan ngurus 3 anak yang lagi “meumeujeuhna“, atau bisa jadi saya kurang makan-makanan bergizi. Solusinya, saya harus banyak istirahat, banyak makan sayuran, dan daging-dagingan terutama daging merah.
Padahal menurut saya, dibandingkan sekarang, jauh lebih capek dulu. Sekarang begadang dibatasi, pola makan pun dari dulu gak berubah, justru masih lebih baik sekarang, karena sekarang saya mau makan sayur-sayuran terutama jengkol hahaha
Saya jadi curiga, jangan-jangan sebenarnya dari dulu Hb saya tidak pernah memenuhi syarat. Hanya saja, karena dulu alat pengukuran Hb-nya belum secanggih sekarang, jadi kurang beberapa point pun masih bisa ditolerir.
Jangan tanya betapa sedihnya perasaan saya ditolak donor yang keempat kali. Apalagi alasannya karena kurang gizi. Huh… sangat menyebalkan!