Seperti yang kita tahu, Tuberculosis atau TB bisa menyerang siapa saja, tanpa membedakan status sosial dan ekonomi. Mau miskin, kaya, konglomerat, pengangguran, atau pejabat sekalipun bisa saja terserang TB. Laki-laki/perempuan, anak-anak/remaja/dewasa/tua pokoknya semua orang memiliki potensi tertular TB. Perkiraan jumlah kasus TB di dunia sebanyak 8,6 juta, 0,5 juta diantaranya anak-anak dan 2,9 juta pada wanita.
Nah, ketika tertular dan positif terjangkit TB, maka mau tidak mau pasien harus berobat sampai tuntas. Kalau tidak, TB bisa berujung dengan kematian dan bukan tidak mungkin orang-orang yang ada di sekitar pasien pun tertular TB. Angka kematian akibat TB di dunia ini mencapai mencapai 1,3 juta jiwa per tahun.
Lain lagi ceritanya saat pasien menjalani pengobatan setengah-setengah. Salah satu alasannya ketika pasien merasa kondisi kesehatan berangsur-angsur mulai membaik. Padahal bakteri TB belum mati sepenuhnya.
Yang ini sih lebih menyeramkan lagi efeknya! Kalau diobati setengah-setengah, TB akan berkembang menjadi TB resisten obat/MDR-TB/XDR-TB (baca tentang TB resisten obat lebih jelas di sini). Orang-orang terdekat dengan pasien TB resisten obat ini pun menjadi lebih rentan tertular TB jenis yang sama.
Kalau sudah berkembang begini memangnya sudah tidak bisa diobati ya?
Oh tenang saja, selama disiplin menjalani pengobatan sesuai aturan dan pengobatan dijalani sampai tuntas, mau TB resisten, MDR-TB atau bahkan XDR-TB sekalipun masih bisa disembuhkan. Tapi, waktu pengobatan yang diperlukan pun lebih lama dari pengobatan TB biasa.
Biayanya? Sudah pasti lebih mahal. Bahkan sampai 200x lipat pengobatan TB biasa!
Terus gimana donk? Tidak usah berobat? Menyerah saja?
Pengobatan TB biasa memerlukan waktu minimal selama 6 bulan tanpa terputus. Sementara TB resisten obat/TB-MDR/TB-XDR memerlukan waktu pengobatan selama 2 tahun tanpa terputus, obat yang digunakan pun jauh lebih banyak. Bisa dibayangkan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli obat-obatan selama itu.
Dengan alasan itulah, masih banyak orang yang tidak mau menjalani pengobatan TB. Padahal pengobatan TB ini gratis lho. Mulai dari pemeriksaan awal, pemeriksaan penunjang sampai obat semua dijamin pemerintah.
Jadi sebetulnya pasien TB tidak usah putus asa dan menyerah begitu saja. Justru kalau tidak diobati, seperti yang sebelumnya sudah saya ceritakan, TB ini bisa ditularkan kepada orang-orang di sekitar pasien. Begitu seterusnya, ibarat bola salju yang semakin lama semakin besar, pasien TB pun semakin hari akan semakin banyak.
Beban Ekonomi akibat TB
Studi Beban Penyakit Global (Global Burden Disease) 2010 menunjukkan, stroke, tuberkulosis, dan kecelakaan lalu lintas jadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Kematian akibat penyakit tak menular mulai mendominasi, tapi kematian akibat penyakit menular tetap tinggi.
Penyakit penyebab kematian tertinggi lainnya adalah diare, jantung, dan diabetes. βDari pola penyakit, Indonesia pada transisi menuju negara maju dengan pendapatan per kapita lebih tinggi,β kata peneliti dari Universitas Washington, Seattle, Amerika Serikat, Christopher JL Murray, di Jakarta, Selasa (30/4).
Besarnya beban akibat penyakit tidak menular merupakan ciri negara maju. Termasuk kelompok ini adalah penyakit jantung, stroke, diabetes, dan kanker.
Sebaliknya, tingginya beban penyakit menular adalah ciri negara miskin. Penyakit itu antara lain berupa infeksi saluran pernapasan bawah, diare, HIV/AIDS, malaria, dan tuberkulosis (TB).
Dua dekade terakhir, beban akibat kematian atau kecacatan stroke naik 76 persen. Adapun beban kecelakaan jalan raya naik 36 persen.
Periode yang sama, kata Murray, Indonesia berhasil menurunkan 37 persen kematian akibat TB. Namun, TB tetap merupakan penyakit penyebab kematian tertinggi kedua.
Di Indonesia, setiap tahun terdapat 67.000 kasus meninggal karena TB atau sekitar 186 orang per hari. TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat 3 dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia (SKRT 2004). Selain itu pada usia 5 tahun ke atas, TB merupakan penyebab kematian nomor 4 di perkotaan setelah stroke, Diabetes dan hipertensi dan nomor 2 dipedesaan setelah stroke (Riskesdas 2007).
Hal ini menunjukkan masih banyak pasien TB yang tidak terdeteksi dan tidak dirawat dengan baik.
Secara geografis beban TB tertinggi di kawasan Asia dan Afrika. Dari 40% kasus TB di Asia, didapatkan 60% diantaranya di kawasan Asia Tenggara. Lebih lanjut lagi, TB menyebabkan terhambatnya pertumbuhan TB menyebabkan hilangnya pendapatan rumah tangga sebesar 20-30% dengan nominal sekitar US$ 1000 setiap kasus TB di negara berkembang
Mengapa TB bisa menyebabkan beban sosial dan ekonomi yang sangat besar?
Kasus TB kebanyakan terjadi pada usia produktif yaitu sebesar 70%, sehingga menyebabkan beban sosial dan ekonomi yang sangat besar.
Lho, koq bisa? Bukankah biaya pengobatan ditanggung oleh pemerintah?
Beban biaya ekonomi akibat penyakit TB diperhitungkan dengan melihat alur kejadian dan biaya yang timbul baik pasien yang diobati maupun tidak diobati. Jenis biaya yang diperhitungkan adalah:
- Biaya medis TB dari pasien yang dirawat (medical cost of patient treated)
- Beban biaya rumah tangga untuk pasien yang diobati (household cost of patient treated)
- Kerugian produktivitas akibat disabilitas (loss of productivity due to disability)
- Kerugian produktivitas akibat kematian prematur (loss of productivity due to premature death)
Meski biaya pengobatan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah, bagaimana dengan biaya sehari-hari yang diperlukan selama berobat? Terlebih ketika TB menyerang anggota keluarga di usia produktif seperti pelajar, mahasiswa atau karyawan yang merupakan tulang punggung bagi keluarga. Dampak fisik pada pasien TB dapat berupa keterbatasan dalam melakukan kegiatan fisik secara normal.
Bila TB menyerang seorang karyawan yang harus bekerja setiap hari, besar kemungkinan jadwal kerjanya menjadi terganggu, karena pengobatan TB memerlukan pasien datang ke klinik atau rumah sakit secara berkala. Selain itu adanya stigma negatif dari lingkungan masyarakat yang sampai sekarang masih banyak ditemukan bahwa pasien TB harus dikucilkan membuat pasien TB mungkin saja dikeluarkan dari tempat kerja dengan alasan khawatir menulari karyawan lain.
Beberapa waktu yang lalu, saya juga sempat membaca perjuangan Susan, blogger yang bapaknya terdiagnosa TB. Perjuangan Susan membawa bapaknya berobat sampai ke luar kota menjadi gambaran nyata, bahwa biaya yang diperlukan bukan hanya untuk pengobatan saja. Sayangnya, persyaratan administrasi rumah sakit tidak mendukung pengobatan bapaknya Susan di rumah sakit tersebut. Bukan hanya biaya transportasi yang hilang, tapi juga waktu yang terbuang begitu saja.
Fakta yang ada menunjukkan bahwa sebesar 75% pasien TB harus mengambil pinjaman atau berhutang untuk biaya pengobatan dan biaya sehari-hari.
Besarnya biaya yang seharusnya dikeluarkan sektor kesehatan untuk penanggulangan penyakit TB kurang lebih dengan memperhitungkan nilai tengah (median) di fase diagnosisnya adalah sebesar Rp. 399.000,- , fase pengobatan intensif sebesar Rp. 509.000,- dan fase kelanjutan pengobatan sebesar Rp. 790.000,-.
Sementara nilai tengah (median) biaya pengobatan MDR-TB jauh lebih tinggi, yaitu Rp.450.000,- untuk fase diagnosis, Rp.10.453.000,- untuk fase pengobatan intensif, dan Rp.11.893.000,- untuk fase kelanjutan pengobatan MDR-TB.
Sekarang kita coba kalikan angka-angka di atas dengan jumlah pasien TB yang ada di Indonesia. Terbayang kan betapa besarnya beban yang harus ditanggung oleh negara untuk menangani TB ini.
Ini baru beban ekonomi, belum memperhitungkan dampak sosial dan mental terhadap pasien TB yang bisa saja terisolasi atau dikucilkan oleh masyarakat. Berdasarkan penelitian persepsi pasien tentang TB menunjukkan reaksi pasien saat mengetahui diagnosa : yaitu 50% mengalami kekhawatiran dan 9% diantaranya memiliki pikiran untuk bunuh diri.
Meskipun kesakitan dan kematian karena Tuberkulosis pada berbagai kelompok umur juga mengakibatkan beban sosial dan ekonomi yang nyata: kematian orang dewasa pada usia produktif yang biasanya merupakan orang tua/kepala keluarga/pekerja produktif akan menyebabkan beban cukup besar. Ditambah lagi TB ini banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah, sehingga beban yang harus ditanggung keluarga menjadi lebih berat.
Peran serta kita dalam mengurangi beban negara
Banyak yang bisa kita lakukan untuk mengurangi beban negara dalam hal penanganan penyakit TB ini, diantaranya :
- Menjaga pola hidup yang sehat, baik bagi diri sendiri maupun keluarga terdekat, sehingga bisa meminimalisir resiko tertular TB. Menjaga kesehatan dan membersihkan lingkungan dengan teratur adalah salah satu langkah nyata agar kita terhindar dari penularan TB.
- Aktif memberikan pengetahuan mengenai TB pada orang lain, bahwa meski mudah menular, TB sangat bisa diobati sampai sembuh. Jika keluarga ada yang menderita TB, sebaiknya kita juga aktif menjadi PMO agar pasien TB mengonsumsi obat sesuai dosis dan aturan sampai masa pengobatan selesai.
- Jika menemukan keluarga, tetangga, atau orang di sekitar kita mengalami gejala TB, hendaknya kita juga membujuk dan membawa orang yang diduga terkena TB untuk memeriksakan diri.
- Memotivasi para pasien TB supaya punya semangat juang untuk sembuh, karena TB memang bisa disembuhkan.
Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi? Yuk kita sama-sama menyebarluaskan informasi positif tentang penanganan TB ini, bukan tidak mungkin TB pun enggan singgah di Indonesia.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog TB sesi 6
Referensi :
www.depkes.go.id
www.pppl.kemkes.go.id
www.kesehatan.kompasiana.com
http://www.kpmak-ugm.org/2012
Wah, mbak ini aktif sekali nulis soal TB ,,, sangat komplit dan jelas. semoga TB segera diberantas ya mbak, TB ini memang merenggut apa saja tanpa memikirkan nasib korbannya… sukses ya, semoga beruntung π
hehehe… iya, judulnya dibuang sayang.. gak menang gak apa-apa…. yang penting selesai nulis π