“Yang ini mah anaknya agak kurang, ya. Gak seperti Teteh-tetehnya,” pesan seorang guru ketika pembagian rapor 7 tahun silam masih saya ingat sampai hari ini.
Saya membalasnya dengan senyuman sambil bilang, “Muhun, Ibu. Hapunten pisan nu ieu mah peryogi seueur bimbingan.“
Tidak, saya tidak sakit hati sama sekali dengan pesan guru tersebut. Karena saya yakin, anak-anak saya semua punya potensi masing-masing tanpa perlu dibanding-bandingkan satu sama lain.
Tahun demi tahun berlalu. Anak saya yang dibilang kurang ini rupanya masih “tertinggal” dibanding anak-anak lain yang menduduki peringkat atas di kelasnya.
Tidak apa-apa. Toh, tidak satu pun dari ketiga anak saya yang dituntut harus mendapat peringkat atas.
Sampai di kelas 3, anaking mulai didorong ikut lomba yang menurut saya sesuai potensinya. Di lomba pertama yang pesertanya kelas 5-6, anaking meraih juara kedua di tingkat kecamatan.
Ah, ternyata apa yang saya yakini memang benar, dan apa yang dulu pernah dibilang oleh gurunya, kurang tepat. Ade keren!
Lanjut di kelas 4, masih ikut lomba yang sama, anaking berhasil meraih juara kedua. Kali ini di jenjang yang lebih tinggi, tingkat Kabupaten.
Duduk di kelas 5, mata lomba yang sama ini ditiadakan. Tapi anaking punya ketertarikan lebih di bidang yang lain.
Ya sudah, kita drilling soal sekalian. Kadang malam-malam sambil menggaruk punggungnya sebelum tidur, kami nonton youtube yang membahas soal.
Tiap ada lomba online, anaking ikut.
Targetnya bukan juara, tapi sekadar latihan soal dan mengukur kemampuannya sudah sampai di mana. Tiap kali ikut lomba online pula, peringkatnya mengalami peningkatan.
Sampai waktunya ada lomba resmi dari Kemdikbud.
Seperti layaknya lomba-lomba lain, pesertanya diseleksi dulu di tingkat sekolah.
Demi menjaga integritas, anaking ikut seleksi seperti anak-anak yang lain. Tentu saja soal-soalnya juga tidak saya beritahu sebelumnya.
Dari sekian kali seleksi, anaking mendapat nilai paling tinggi dan diputuskan mewakili sekolah ikut lomba bersama dua orang temannya yang lain.
Seleksi kabupaten, anaking menduduki peringkat 5 besar dan lolos ke provinsi.
Dua temannya yang lain tidak lolos.
Seleksi provinsi, lagi-lagi anaking masuk peringkat 5 besar dan lolos ke tingkat nasional.
Meski lolos ke tingkat nasional, banyak yang meragukan karena lombanya diselenggarakan online. Mungkin dikiranya karena online jadi bisa dengan mudah saya bantu.
Pelaksanaan lomba tingkat nasional, masih online. Namun berbeda dengan sebelumnya yang dilaksanakan di sekolah & diawasi kamera zoom, kali ini dinas menentukan tempat pelaksanaan di kantor dinas.
Begitu diberi tahu kalau nanti lombanya akan dilaksanakan di kantor dinas, anaking biasa saja. Saya? Jelas degdegan.
Ketika pelaksanaan, selain dipantau kamera zoom dari depan & belakang, anaking juga dikelilingi banyak pejabat dinas & kepala sekolah dari kecamatan lain yang ingin memantau jalannya lomba. Waduh… boro-boro bisa bantuin atuh ini mah.
Tapi ya tidak jadi masalah. Toh biasanya juga memang tidak dibantu.
Hasilnya?
Di tingkat nasional, anaking belum berhasil mendapatkan medali, tapi masih masuk sebagai honorable mention. Jujur, terharu. Bangga sih sudah jelas. Karena anaking berhasil membuktikan kalau dia memang bisa meski tidak dibantu mamahnya.
Bagaimana dengan di kelas? Oh, tetap tidak masuk peringkat atas dong haha. Dan, ya. Lagi-lagi saya tidak mempermasalahkan soal peringkat ini.
Di kelas 6 semester 1 malah lebih parah. Saat pembagian rapor, saya dipanggil belakangan.
Ternyata anaking menduduki peringkat bontot.
Wali kelasnya bilang, bahwa nilai kecil itu untuk memotivasi anaking agar belajar lebih baik. Beliau juga berjanji, di semester 2 nilai-nilai anaking akan diganti.
Apakah saya marah dengan keputusan wali kelas memberikan anak saya peringkat bontot padahal di tingkat nasional anaking malah mendapat peringkat harapan? Tidak sama sekali.
Hingga akhirnya tiba-tiba saja beliau mengajukan mutasi, dan saya ditunjuk menggantikan sementara tugas beliau sebagai wali kelas.
Plot twistnya adalah, beliau mengajukan mutasi ke sekolah yang menerima & menugaskan beliau di posisi yang sama seperti posisi yang saya gantikan 2 tahun lalu.
2 tahun lalu beliau yang mengajukan pengunduran diri dengan alasan kesehatannya mulai menurun karena tugas yang cukup berat. Saat itu beliau bilang, jika ada yang sanggup menggantikan, maka beliau bersedia mundur.
Tanpa pikir panjang, pimpinan kami menerima pengunduran diri beliau dan langsung menunjuk saya yang kebingungan.
Jelas saya bingung. Kalau beliau sampai mengundurkan diri gara-gara tugasnya dulu yang dianggap cukup berat sampai menganggu kesehatannya, apa kabar saya yang harus bekerja secara sembunyi-sembunyi?
Tapi ya sudah, terima dulu saja. Urusan sembunyi-sembunyi, anggap saja sedang main petak umpet haha.
Selama saya menjadi wali kelas sementara, saya mendapat kesempatan melihat langsung perkembangan anaking di kelas. Apakah benar anaking setertinggal itu sampai mendapat peringkat bontot?
Ternyata anaking tidak seburuk itu.
Saya paham bahwa hasil belajar setiap anak berbeda-beda, bahkan pada anak itu sendiri. Semester ini bisa saja nilainya bagus. Semester berikutnya mungkin bisa geleng-geleng kepala.
Tapi, mendapat peringkat bontot yang bahkan lebih rendah dari anak yang sama sekali tidak bisa membaca ini sedikit membuat saya lebih dari geleng-geleng kepala.
Ya, di kelas yang saya pegang memang ada anak yang sama sekali belum bisa membaca. Yang belum bisa berhitung? Lebih banyak lagi.
Sempat terbersit pertanyaan, apakah dulu keputusan memberikan anaking peringkat bontot itu benar-benar objektif?
Atau jangan-jangan dapat peringkat bontot karena sentimen kepada saya yang, sejak 2 tahun terakhir, menggantikan tugas beliau?
Ah, sudahlah. Apapun alasannya, saya tidak ambil pusing jika nilai rapor anaking jelek.
Namun ketika di akhir tahun pelajaran saya harus memberi nilai untuk rapor & ijazah, saya dilanda dilema.
Jika nilai yang saya berikan untuk rapor & ijazah anaking sesuai dengan nilai yang sebenarnya, yang ternyata tidak terlalu buruk, bahkan kalau diurutkan masuk peringkat atas, bagaimana reaksi orang tua lain yang terbiasa jadi juara kelas?
Setelah berdiskusi panjang dan perlahan dengan anaking, akhirnya nilai rapor dan ijazahnya dibuat lebih kecil dari yang sebenarnya.
Bagaimana dengan nilai rapor sebelumnya yang dijanjikan wali kelas akan diganti?
Meski anak sendiri, saya harus tega dengan membiarkan nilai rapornya asli sesuai yang diberikan wali kelas sebelumnya tanpa perlu diganti.
Sedih? Pasti. Saya sudah jahat sama anak sendiri. Tapi saya juga tidak mau jadi omongan orang tua siswa lain.
Jika saja saya memberikan nilai asli, saya takut ada omongan, “mentang-mentang anak sendiri, jadi diberi nilai besar.“
Untuk masuk ke SMP, anaking memakai semua piagam yang pernah dia dapatkan.
Rapornya yang nilainya jelek itu, kita simpan saja di lemari.
6 bulan di SMP, kemarin saya mendapat undangan penerimaan laporan hasil belajar anaking.
Orang tua lain sibuk menanyakan peringkat anaknya ke wali kelas.
Saya? Ah, dari dulu juga tidak pernah menanyakan soal peringkat ke wali kelas anak-anak saya. Terlebih kurikulum merdeka tidak boleh ada peringkat kelas.
Belum lagi saya sudah ditunggu di sekolah untuk menyampaikan paparan soal PIP yang membuat geger alam dunia sampai dunia babinsa haha. Siangnya sudah janji pula mau antar Nene hemodialisa. Pikiran sudah kemana-mana. Maunya acara cepat selesai saja.
Sampai akhirnya semua rapor selesai dibagikan dan wali kelas meminta orang tua pulang, kecuali orang tua anak yang dipanggil namanya, termasuk saya.
Waduh. Jangan-jangan peringkat bontot lagi nih? Dulu di kelas 6 semester 1, wali kelasnya juga meminta saya pulang terakhir.
Tapi ternyata, kali ini wali kelas memberikan ucapan selamat.
Beliau bilang, meski sudah tidak ada peringkat di kurikulum merdeka, tapi sekolah sudah menyiapkan apresiasi untuk anak saya.
Saya masih bingung. Apresiasi untuk apa?
Wali kelas menyerahkan map merah. Ketika saya buka, saya kaget melihat tulisan yang tertera di sebuah piagam.
Anaking mendapat peringkat 2.
Serius ini anak yang di SD selalu peringkat 15-30 malah peringkat 2 di SMP?
Lagi-lagi, saya dibuat bangga.
Anaking telah membuktikan bahwa setiap anak punya waktunya untuk bersinar.
Buang semua keraguan, beri mereka kesempatan dan keyakinan.
Kamu keren, De!