Beberapa waktu yang lalu, seorang teman di grup whatsapp mengunggah foto di atas. Sebuah foto yang menunjukkan seorang pria tengah menerima bantuan donasi dari BMT Barrah, mitra pengelola zakat Dompet Dhuafa.
Pria itu adalah Dede Sofyan, berusia 30 tahun-an. Pekerjaannya sehari-hari menjajakan donat buatannya sendiri di halaman SD dekat rumahnya. Kalau donatnya belum habis, Pak Dede kemudian berjalan menyusuri jalanan kampung, sampai donatnya habis terjual.
Sekilas tidak ada yang istimewa dari foto tersebut. Lalu apa yang membuat Pak Dede istimewa di mata saya?
Saat mengunggah foto di atas, teman saya juga memberikan keterangan bahwa Pak Dede kehilangan tangan kanannya karena terlindas kereta api sekitar tahun 2000 yang lalu. Musibah ini membawa Pak Dede pada titik terendah dalam hidupnya. Saya pun ingin menuliskan kisah Pak Dede di blog, kemudian saya menggali informasi lebih jauh tentang Pak Dede melalui teman saya yang mengunggah foto tersebut.
Selepas kecelakaan terlindas kereta api, Pak Dede tidak mendapatkan santunan dari pihak manapun. Ketidaktahuan Pak Dede akan prosedur asuransi kecelakaan membuat Pak Dede kehilangan haknya mendapatkan santunan dari asuransi. “Pendidikan saya hanya SD”, begitu ucap Pak Dede ketika ditanyakan apakah Pak Dede mendapatkan santunan karena kecelakaan yang menimpanya itu. Terlebih tidak ada yang memberitahu apalagi medampingi Pak Dede untuk klaim asuransi.
Beberapa waktu yang lalu, ada yang memberitahu Pak Dede untuk klaim asuransi kecelakaan. Sayangnya, karena sudah melewati batas waktu, klaim itu ditolak pihak asuransi. Berdasarkan aturan, klaim hanya bisa diterima jika belum melewati batas waktu 6 bulan sejak kejadian.
“Penderitaan” Pak Dede tidak cukup sampai di situ. Karena Pak Dede dianggap tidak bisa menafkahi istri dan anak-anaknya, Pak Dede pun sempat diusir oleh mertuanya. Oya, saat ini Pak Dede memiliki 3 orang anak. Yang paling besar masih duduk di kelas 5 SD, yang kedua berumur 5 tahun, sementara yang paling kecil masih berumur 1.5 tahun
Pak Dede tinggal di Kampung Cisagatan, Cijapati, Garut. Daerah pegunungan yang tidak terjangkau bahkan oleh sinyal televisi dan handphone sekalipun.
“Pokokna mah kampung pisan, Rin!”, demikian ujar teman saya.
Mayoritas penduduk di daerah tempat tinggal Pak Dede berprofesi sebagai petani. Namun, tentu saja Pak Dede tidak bisa mengikuti jejak mereka karena Pak Dede hanya memiliki sebelah tangan.
Perlahan Pak Dede mulai bangkit dari keterpurukannya. Pak Dede memilih mencari nafkah dengan menjadi kuli panggul pupuk dengan upah Rp. 5000,- per hari. Upah yang sebetulnya sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup Pak Dede dan keluarga. Meski begitu, Pak Dede tetap menjalani pekerjaan sebagai kuli panggul. Sayangnya, pekerjaan yang cukup berat ini membuat kondisi kesehatan Pak Dede semakin menurun.
Tapi semangat juang Pak Dede memang luar biasa. Berkali-kali ditempa masalah tidak membuat Pak Dede kehilangan harapan dan keyakinan, bahwa Allah tidak memberi cobaan di luar batas kemampuan Pak Dede. Pak Dede kemudian mencoba membuat donat hanya dengan sebelah tangan.
Donat itu dijajakan oleh Pak Dede sendiri di halaman SD dekat rumahnya. Usaha Pak Dede kali ini cukup berhasil. Meski kehilangan sebelah tangan, Pak Dede masih bisa mencari nafkah sendiri, demi istri dan anak-anaknya.
Kehilangan sebelah tangan dan kemiskinan bukan menjadi penghalang bagi Pak Dede untuk tetap berusaha dan menggantungkan harapan.
Jika Pak Dede yang hanya memiliki sebelah tangan memiliki semangat juang yang demikian tinggi, lalu apakah kita yang dikaruniai anggota tubuh sempurna masih mau berpangku tangan dan menyerah pada keadaan?
*Alhamdulillah, artikel ini keluar sebagai salah satu pemenang favorit lomba blog #IndonesiaMoveOn yang diadakan Dompet Dhuafa.